Ironi Kehidupan – Buronan; Sebuah Pelarian
Emotion, Humour, Opinion

Ironi Kehidupan

Saya dari dulu suka sekali dengan kata ‘ironi’. Kata ini sangat kaya akan makna, berarti banyak hal tergantung bagaimana orang melihatnya dan tentu saja siapa yang melihatnya. Terkadang ironi menunjukkan tingkat kecerdasan orang, katanya sih. Kalau menurut guru Bahasa Indonesia sih ironi itu semacam majas lah. Utamanya digunakan untuk menyindir secara halus. Ya kalau diaplikasikan ke kehidupan jadi gak halus juga sih. Ironi juga bisa berarti situasi yang bertentangan dengan yang diharapkan or seharusnya terjadi. Nyatanya hidup memang dipenuhi kejadian-kejadian ironis. Tanpa kita sadari hidup kita dipenuhi banyak hal ironis. Sebutlah seorang kakek hidup selama 89 tahun dan iseng-iseng beli kupon berhadiah milyaran, ternyata si kakek entah beruntung entah buntung berhasil menjadi pemenang hadiah utama 4 milyar. Saking kagetnya, si kakek mati seketika! Maka kata yang pas untuknya adalah ironis! Ada cerita ironis yang saya ingat sampai sekarang meski saya lupa sumbernya. Sebut saja bapak Aman benci terbang. Dia takut berada di ketinggian, apalagi terbang naik burung besi. Karena dia ingin aman bersama anak dan istrinya, dia memilih bepergian naik mobil sejauh apapun itu. Suatu hari, pak Aman mendapatkan penghargaan karena sudah bekerja selama 25 tahun, sebagai syarat untuk mendapatkan uang tunai hadiahnya (niatnya mau dipakai haji), dia harus datang ke acara penganugerahan di Amerika (pusatnya disana). Dengan berat hati, untuk pertama kalinya dia memutuskan naik pesawat! Tanpa didampingi anak istri, si bapak duduk sendiri di kursi dekat jendela, persis dekat sayap pesawat. Ironisnya, tak sampai 15 menit pesawat terbang melaju membelah langit, sekelompok burung gagak tak sengaja menubruk sayap pesawat membuat mesin di dalamnya terbakar dan pesawatpun oleng, jatuh menabrak gunung. Abaikan detil dan teknis di ceritanya, saya over mendramatisirnya, harap focus di ironinya ya hahaha. Atau cerita yang lebih ringan, ironi itu kalau kamu di kantin dan lagi enak-enaknya menikmati bakso, tetiba temenmu masuk kantin teriak mau traktir satu sekolah karena dia menang lomba dan banyak duit. Dibayarin makan enak sih, tapi ironisnya kamu udah keluar uang karena kebiasaan bayar sebelum makan. Nah tuh, bakso yang tadinya enak kok jadi pahit ya hmm…

Kenapa saya, yang sudah absen menulis selama puasa, tiba-tiba post tulisan sepahit ini… Nah disitu letak ironinya. Blog saya ini juga bukti ironisnya diri saya sebagai manusia (plin plan). Dulu jaman-jaman setres nulis skripsi, bukannya ngetik ribuan kata tentang hukum internasional di Afrika, saya malah ngetik ribuan kata tentang saya dan Jakarta. Bukannya merenung memikirkan bab skripsi yang rajin ditagih dospem, saya malah sibuk melamun tentang banyak hal ga penting. Bukannya sibuk menghabiskan waktu depan laptop, masa-masa skripsi adalah masa-masa teraktif saya main di luar kosan. Semester pertama yang seharusnya saya gunakan untuk menikmati masa bulan madu mahasiswa baru, saya habiskan untuk stay di kosan dan belajar. Sedangkan semester-semester akhir yang seharusnya saya fokuskan untuk skripsi, malah saya habiskan dengan have fun, asyik nge’date’ sama oppa dari Korea, nonton drama 57 episode non-stop, marathon Game of Thrones dari season 1. Hasilnya, the biggest irony of my life; dari all As plus IPK 4 menjadi seminar C dan skripsi B. Ya semoga saja itu ironi terbesar hidup saya. Semoga tidak ada lagi ironi dalam hidup kita.

Nyatanya, blog ini juga ironi favorit saya. Dilihat dari tanggal pertama posting disini, saya sedang dikelilingi banyak deadline tugas. Blog menjadi sebuah pengalihan. Semacam strategi yang biasa digunakan politisi lah. Ketika saya berada di dalam suasana genting, merasa terdesak, saya dengan senang hati akan mencari segala cara untuk kabur hahaha Malam itu bukannya mulai membuat essay plan saya menjadi essay yang sesungguhnya, saya malah membuat blog ini dan langsung menulis 4 posting sekaligus! Dengan penuh semangat, saya mulai memikirkan plan untuk blog baru saya ini, membuatnya menjadi blog berkelas minimal menyaingi damae (eh itu maksimal sih). Saya membuat beberapa tema dan memilih topik tertentu untuk setiap posting. Duh, waktu itu saya merasa menjadi blogger paling pro sedunia deh. Ironisnya, ketika semua essay sudah saya submit ke kampus, semua ide itu hilang entah kemana. Semangat menulis dan tekad #1hari1post juga ikut raib. Lah, kok gitu sih. Ya gimana namanya juga ironi kehidupan 😀

Toh, kehidupan memang banyak ironinya. Apa yang kita harapkan tak terwujud? Ironis. Apa yang kita targetkan tak tercapai? Ironi. Apa yang seharusnya terjadi tidak terlaksana? Ironi lagi. Hal yang sering saya alami selama di Indonesia adalah kehujanan. Kalau kebetulan saya bawa payung, langit yang tadinya gelap jadi terang benderang. Ironisnya kalau saya lupa bawa payung, brsss, hujan deras mengguyur. Ironi kan? Disini di Australia, banyak ditemukan keluarga kaya raya, sukses makmur banyak duit tak punya anak. Bahkan banyak yang tak mau punya anak lantaran biaya ‘pemeliharaan’ anak mahal. Di Indonesia, pak paijo di kampung saya punya anak sampai 12 biji padahal kerjanya cuma jualan kerupuk. Ironi ya. Katanya sih pendidikan itu kunci kemajuan suatu bangsa, semakin orang menyadari pentingnya pendidikan kok ya semakin mahal saja biaya sekolah. Jutaan bahkan ratusan juta dianggarkan per siswa di sekolah swasta di Jakarta. Kuliah juga makin tinggi saja biayanya. Lah, bukannya semakin dirasa signifikan pentingnya, dimudahkan saja urusannya biar cepat maju negeri kita. Kok ya makin mahal? Ironi namanya. Lah terus aku kudu piye? Hidup di tengah keironisan ini….

“Irony is the bringing together of contradictory truths to make out of the contradiction a new truth with a laugh or a smile.” – Jane Austen

Ya bener toh dinikmati saja. Sepahit apapun diterima saja. Dengan senyuman. Dengan tawa. Toh, itu yang biasa kita lakukan. Tertawa di atas penderitaan orang lain misalnya. Berapa banyak orang yang menolong temannya yang jatuh nyusruk di selokan depan sekolah dibandingkan dengan yang menertawakannya. Ironi sih. Paling tidak kamu bahagia saat tertawa. Ingat kejadian bom di Jakarta, bukannya merasa takut, warga malah asyik membincangkan si polisi ganteng dan style fashionnya. Bukannya berita analisa mendalam akan aksi bom dan jaringan terroris di Indonesia, internet dipenuhi meme lucuk tentang bom, #kamitidaktakut, sampai kaos yang dipakai si polisi gagahpun laris manis jadi trend fashion baru! Yang penting bahagia kan intinya. Entah saya harus senang atau sedih melihat yang begini. Tapi kalau harus memilih, kenapa tidak ambil yang positif saja?

Kita ingat saja fakta bahwa manusia, di tengah kesemerawutan hidup, tak peduli seganas apapun rintangan, sepekat apapun kotoran dunia, segelap apapun kehidupan,  akan bisa menemukan seberkas cahaya, setitik kesempatan, secuil kebahagiaan. Itu, adalah harapan. Kemampuan mata kita melihat setitik cahaya dalam pekatnya kegelapan adalah sebuah ironi. Tapi ironisnya si ironi ini, kita jadi mudah berharap kala kesulitan menimpa. Mungkin saja, ini cara Tuhan menyayangi hambanya. Menciptakan harapan di tengah kepahitan. Untuk mengingatkan kita bahwa Dia selalu memberikan apa yang kita butuhkan, dan bukan selalu apa yang kita inginkan. Karena yang terbaik menurut kita belum tentu yang terbaik menurut Tuhan.
Jadi kesimpulannya adalah, hidup ini MEMANG kejam, hidup ini tidak adil, penuh ironi, dimana keinginan dan mimpi kita banyak tak tercapai, tapi tetap jalani saja apa adanya. Akan selalu ada harapan untuk kita. Di tempat tergelap sekalipun. Sambil mencoba menikmati hidup di tengah kegelapkan, alangkah baiknya kalau kita focus juga dalam mempersiapkan kehidupan yang abadi nanti, dimana terdapat keadilan dan kebahagiaan mutlak. Ironi lain yang patut kita kaji lebih dalam adalah fakta bahwa hidup kita cuma sebentar.
Jika perjalanan kehidupan ini digambarkan dengan sebuah garis lurus, maka tujuh puluh tahun kehidupan kita tak lebih berupa sebuah titik yang relatif tidak kentara. Meskipun bagi sebagian orang 70 tahun terasa lama, tetap saja relatif singkat di banding alam keabadian. Yang terpenting untuk dipahami adalah kesempatan hidup kita yang singkat ini menentukan derajat kehidupan kita di alam keabadian. Itu, adalah intisari hidup di dunia penuh ironi.

Anyway, semangat nulis lagi deh ya

See ya!

Leave a Reply

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *